Skip to main content

Buku Pertama yang Gue Baca




Halo semuanya!

Siapa yang masih suka baca buku disini? Nggak cuma artikel-artikel di internet aja. Atau.. Gue tiba-tiba jadi kepo, nih. Ada yang lebih suka baca buku fisik daripada gadget? Hehe. Aku pribadi, lebih suka buku fisik, sih. Soalnya nggak bikin mata capek :D

Kita mulai dengan perkenalan diriku saat masih bocah, ya.
Aku, Kennice, gadis kecil yang dulu sangat tidak suka buku. Buku pelajaran gue aja gue sobek-sobek terus bagian tengahnya. Buat apa? Buat menggambar. Nggak cuma bagian tengah, bagian belakang pun kepake cuma buat gambar. Banyak buku SD gue yang hampir nggak ada isinya semua. Karena aku cuma bakal nulis kalo gurunya suruh catat. Sampe tobat nyokap gue, setelah lihat nilai-nilai gue. Eh, salah cerita nih kayaknya. Kok jadi buka aib gini, ya.

Jadi gini...

Ehm...

Sampe mana ya?


Oke. Gue to the point aja.
Gue tuh orangnya nggak suka pegang buku tebel-tebel. Gue suka banting-banting buku-buku cetak gue waktu SD yang tebelnya segendel-gendel. Sampe guru les gue bilang,

"Eh ntar nggak naik kelas, lho, kalo buku kamu banting-banting."

Itulah titik balik gue. Berhenti ngebantingin buku.

Lanjut.

Belum lagi, halaman covernya pasti udah pada mengenaskan semua tuh buku cetak gue. Gue inget, ada buku cetak PKN (Pendidikan Kewarganegaraan) yang karena gue suka sobek-sobek sedikit halaman covernya, sampe akhirnya, di akhir tahun saat pengembalian buku, covernya tinggal seperempat bagian. Sadis bener gue.
Nah, kita nyeleweng lagi ceritanya.

Lanjut (2).

Meskipun gue nggak suka buku tebel-tebel, tapi gue suka menggambar. Jadi, ya biasalah, komik tuh tebel, tapi anak-anak pada umumnya suka komik. Karena ada gambarnya.
Enggak. Bukan komik, buku yang pertama kali gue baca. Waktu SD pun, aku sempat kepikiran, sampe aku berhasil nyelesain satu komik, artinya, gue luar biasa. Soalnya itu kan tebel banget di mata anak-anak (khususnya gue).

Awal mula aku mengenal buku bergambar, adalah buku warisan kakakku. Buku itu bercerita mengenai kisah Menara Babel. Jelas, aku nggak tahu cara bacanya. Aku cuma asyik lihat gambarnya. Begitu terus sampai suatu ketika, orang tuaku membelikan aku sebuah buku bergambar yang baru. Kali ini, ceritanya tentang Daud melawan Goliath. Nah, lo. Gue baru sadar bacaan gue waktu kecil religius banget.

Sekali lagi, nggak. Buku ini nggak langsung kubaca. Terus kuapain? Ya dilihat-lihat lagi gambarnya, dan kutempel-tempeli stiker juga di bagian dalam buku. Biasalah, anak kecil.

Akhirnya, karena penasaran dengan isi ceritanya, aku dibantu oleh orang tuaku, cara membaca satu persatu katanya, hingga terangkai sebuah kalimat yang dapat kupahami.
Jadi, buku itulah buku pertama yang dapat kubaca sampai habis. Mengenai pertarungan antara Daud dan Goliath.

Sekarang, entah dimana keberadaan buku itu. Buku dengan cover depannya yang berwarna biru dan kuning itu. Yang membentuk sosok Daud berbaju biru di benakku, hingga sekarang. Dan yang mengajarkanku untuk menjadi cerdik, akan selalu teringat di hati 

Itulah buku pertama yang kubaca. Kalau kamu?

Comments

  1. buku pertama yang gue baca buku belajar membaca, itu loh yang masih di eja2 XD haha
    btw salam kenal ya kennici :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha. Hebat, masih inget aja sama buku mengeja XD
      Salam kenal juga, Salaminzaghi! Hehe.

      Delete
  2. Aku malah sampe lupa lho buku apa yang pertama kali di baca selain buku pelajaran hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pasti Wida anak yang selalu di urutan 10 teratas di kelas. Betul? ;D

      Delete
  3. saya tidak ingat buku yang pertama kali saya baca :)))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha.. Banyak yang sudah lupa, ya, ternyata. Tapi nggak masalah, pokoknya, tingkatkan terus minat baca kamu! :D

      Delete
  4. Lupa buku pertama yang dibaca. Tapi aku punya foto pas kecil, lagi ngebaca bukunya photographer gitu. Mungkin itu buku pertama yang aku baca wkwk

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Day 29: Who and What Adds Meaning

Who and what adds meaning to your life. Agustus, 2023 Tentunya sulit untuk menunjuk hanya satu orang saja. Orang-orang disekitarku selalu menambah meaning dalam hidupku. Sebagian besar datang dan pergi, terkadang kembali, kemudian hilang lagi. Apalagi semakin dewasa dan bertambah usia, sepertinya teman-teman semakin punya kesibukan. Termasuk aku sendiri. Jadi ujung-ujungnya hanya menyapa tipis-tipis di media sosial. Tapi nggak apa-apa, meskipun begitu, aku percaya setiap orang memiliki “fungsi”-nya masing-masing dalam hidupku. Mungkin aku nggak sadar makna kehadirannya pada waktu itu dan baru ngeh setelah beberapa tahun berlalu, atau mungkin saat ini sudah nggak ngobrol, tapi masih terkadang kontakan sedikit-sedikit. Ada banyak faktor yang menentukan peran seseorang dalam hidupku. Jadi, jika ditanya ‘siapa’, tentunya tergantung dari musim hidup yang sedang kujalani. Setiap musim, pemerannya berbeda-beda. Aku hampir selalu belajar sesuatu dari setiap orang yang kutemui, dan sedikit demi...

Terus dan terus.

Kemana hidup ini harus kubawa? Kekecewaan datang dan pergi. Begitu pula kecintaan. Yang mana yang harus kupercaya? Ada keputusan, ada ketakutan. Ada komitmen, ada kebingungan. Dimana ada harapan, disitu ada kekecewaan. Dimana ada tekad, disitu ada godaan. Dimana ada kekecewaan, disitu ada harapan. Akankah aku bertahan? Berapa lama harus aku bertahan? Berapa lama harus aku percaya? Tujuh kali tujuh ratus tujuh puluh tujuh? Sampai jelas. Sampai mati dan hidup lagi. Sampai nyata.

Suka Duka Anak Kos

Anak kos. Pasti banyak diatara kamu yang ngekos di kota atau negeri lain. Entah untuk SMA, atau perguruan tinggi. Hari ini, aku mau membahas suka-dukaku jadi mahasiswi di negeri lain, dalam hal tinggal sebagai anak kos. Untuk memulainya, kuceritakan terlebih dahulu gambaran tentang kos-kosan ku. Aku tinggal di sebuah apartemen di daerah Novena. Sekitar 8-10 menit berjalan kaki dari stasiun MRT. Disini, aku menyewa sebuah kamar untuk kutinggali sendiri. Tidak ada tuan rumah, hanya ada teman-teman serumah. Tapi sekitar tiga hari sekali, akan ada pembantu yang membersihkan rumah dan mengurus cucian baju. Nah, teman-teman serumahku ini ada yang berasal dari sesama Indonesia, ada juga yang dari Filipina. Karena akomodasi di Singapura lumayan mahal, apalagi daerah Novena, jadi aku menyewa kamar yang tidak ada WC-nya. Alias berbagi WC dengan teman serumah. Nah, mari kita mulai. Lagi asyik-asyiknya ngerjain tugas, tiba-tiba mesin cucinya berbunyi. Menandakan bahwa cucian telah selesai d...