Skip to main content

Perbedaan Orang Singapura dan Indonesia

Seperti kegiatan sebelum-sebelumnya, sembari aku menyelesaikan berbagai buku yang kupinjam dari berbagai tempat, aku juga ingin menuliskan review buku-buku yang kubaca di blogku. Artikel-artikel terakhirku, Tepat Satu Bulan! :') dan Doriyaki! menceritakan tentang buku-buku terakhir yang kubaca, The Alchemist karya Paulo Coelho dan Doriyaki karya Andori Andriani.

Nah, kali ini, aku menuliskan pemikiranku mengenai perbedaan orang-orang yang tinggal di Singapura dan di Indonesia. Meskipun tidak semua orang yang tinggal di Singapura melakukan hal-hal ini, namun sebagian besar, mereka melakukannya.

Di semester ke-3 ku di Singapura, akhirnya aku berhasil mengidentifikasi perbedaanya. Langsung saja!

Jalannya cepat
Yup, orang-orang yang tinggal disini, jalannya cepaatt. Hal ini benar-benar terasa saat kamu berada di stasiun MRT. Ketika aku berada di stasiun MRT Dhoby Ghaut, aku baru sadar kalau mereka jalannya cepat semua. Meskipun orang tersebut jalan sambil main hape dan pasang headphone, jalannya tetap cepat. Hebat banget. Padahal kepalanya nunduk gitu, tapi nggak pernah saling tabrak satu sama lain. Aku yang nggak main hape malah nabrakin sana-sini. Mungkin lebih baik aku main hape juga :'(

Di eskalator, berdiri di kiri


Fotonya di Jepang. Tapi di Singapura juga serupa kok.
Orang-orang yang tidak mengalami keterbatasan waktu, biasanya akan berdiri di sebelah kiri eskalator. Kenapa? Supaya orang-orang yang memiliki keperluan penting dan mendesak, bisa maju mendahului orang lain dari sebelah kanan eskalator.

Pulang jam 10 malam, jalan kaki => sudah biasa
Karena aku lagi asyik-asyiknya ikut kegiatan di sana-sini, aku seringkali pulang larut. Dan itu bukan hal yang baru ataupun mengagetkan. Karena meskipun aku berjalan kaki di malam hari, masih banyak orang yang juga berjalan kaki di jalan, bahkan jogging. Jadi, suasana larut malam di Singapura tidak terlalu menyeramkan. Keamanannya bisa dibilang terjamin, itulah salah satu faktor mengapa aku senang tinggal di Singapura.

Tunggu sampai jalanan benar-benar sepi, baru menyeberang
Setiap pulang ke rumah, aku harus selalu melewati jalan besar di dekat rumah. Dan jalanan itu tidak ada zebra cross-nya. Biasanya orang-orang yang tinggal di sini kalo nyebrang pake zebra cross, dan ada tombol khusus yang harus ditekan sebelum menyeberang. Jadi begini proses menyeberangnya:

Tekan tombol > Menunggu sampai lampunya hijau (lampu untuk penyeberang jalan) > Menyeberang

Orang-orang disini nggak jago jaywalking seperti penduduk di Indonesia.


Ilustrasi jaywalking.

Jaywalking adalah aktivitas menyeberang jalan tanpa memerhatikan tanda lalu lintas, atau menyeberang di tempat yang tidak seharusnya.

Karena ketidakahlian kemampuan jaywalking warga Singapura, maka rata-rata dari mereka akan menunggu jalan yang akan mereka seberangi sampai benar-benar kosong, alias tidak ada kendaraan. Tapi itu nggak berlaku buatku.

Suatu ketika, aku menyeberang jalan besar di dekat rumahku itu dengan santainya. Tentu saja, aku sudah cek terlebih dahulu arah datangnya mobil. Tapi saat menyeberang, tiba-tiba mobil yang posisinya masih jauh di sana sudah membunyikan klakson. Aku yang sedang berjalan santai pun sampai bingung, dan akhirnya kupercepat langkahku. Sungguh mengherankan, untukku yang masih memiliki kultur menyeberang di Indonesia.

Kendaraan pasti akan menunggu hingga tanda menyeberang jalan menjadi merah
Ini juga terjadi di dekat rumahku. Saat itu, aku sedang dalam perjalanan untuk berangkat ke kampus, kupencet tombol penyeberang jalan saat aku hendak menyeberang. Setelah lampu penyeberang jalan berubah menjadi hijau, aku mulai menyeberang. Setelah menyeberanginya, aku melanjutkan perjalananku ke halte bus. Saat berjalan, aku melihat ke belakang lagi. Terlihat lampu penyeberang jalan masih hijau, meskipun tidak ada lagi orang yang menyeberang jalan. Karena jalanan ini lumayan sepi daripada jalanan lain, jadi saat itu cuma aku yang nyebrang.

Herannya, meskipun terlihat jelas tidak ada lagi yang menyeberang, kendaraan yang menunggu itu tetap menunggu dengan tenang. Aku yakin mereka juga tahu kalo nggak ada penyeberang jalan yang lain, tapi mereka tetap menunggu hingga lampu penyeberang jalan berubah menjadi merah.

Pemandangan yang aneh, jika itu terjadi di Indonesia. Seolah kendaraan-kendaraan itu menunggu jalanan yang kosong.



Untuk saat ini, itulah lima perbedaan yang kulihat. Mungkin akan berlanjut di artikel-artikel selanjutnya. Ikuti terus aja blog ini!

Sampai ketemu di post selanjutnya!







Comments

  1. Kebanyakan orang2 di negara maju, mereka mematuhi peraturan lalu lintas seperti yang Anda ilustrasikan, termasuk berdiri di sebelah kiri kalau di escalator dan sebelah kanan kosong, buat orang2 yang ingin cepat / buru2 ke tujuan. Pengamatan bagus!

    ReplyDelete
  2. Betul juga nih.., klo d Indo orangny pada males2 jdi jalannya lambat. Pas itu pernah sy liat d website lain klo org yg jalannya cepat, itu artiny org itu mau bekerja keras, rajin dan biasanya sukses

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha.. Saya disini juga menyesuaikan kecepatan langkah kaki mereka, tapi tetep aja males tuh :P #janganditiruya!

      Delete
  3. Btw ken di tempatku kuliah sekarang kalo mau nyebrang jalan mau ke stasiun tuh lampu merahnya ada pencetannya juga. Tapi sering rusak pencetannya itu wakakakak -_-

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Day 29: Who and What Adds Meaning

Who and what adds meaning to your life. Agustus, 2023 Tentunya sulit untuk menunjuk hanya satu orang saja. Orang-orang disekitarku selalu menambah meaning dalam hidupku. Sebagian besar datang dan pergi, terkadang kembali, kemudian hilang lagi. Apalagi semakin dewasa dan bertambah usia, sepertinya teman-teman semakin punya kesibukan. Termasuk aku sendiri. Jadi ujung-ujungnya hanya menyapa tipis-tipis di media sosial. Tapi nggak apa-apa, meskipun begitu, aku percaya setiap orang memiliki “fungsi”-nya masing-masing dalam hidupku. Mungkin aku nggak sadar makna kehadirannya pada waktu itu dan baru ngeh setelah beberapa tahun berlalu, atau mungkin saat ini sudah nggak ngobrol, tapi masih terkadang kontakan sedikit-sedikit. Ada banyak faktor yang menentukan peran seseorang dalam hidupku. Jadi, jika ditanya ‘siapa’, tentunya tergantung dari musim hidup yang sedang kujalani. Setiap musim, pemerannya berbeda-beda. Aku hampir selalu belajar sesuatu dari setiap orang yang kutemui, dan sedikit demi...

Terus dan terus.

Kemana hidup ini harus kubawa? Kekecewaan datang dan pergi. Begitu pula kecintaan. Yang mana yang harus kupercaya? Ada keputusan, ada ketakutan. Ada komitmen, ada kebingungan. Dimana ada harapan, disitu ada kekecewaan. Dimana ada tekad, disitu ada godaan. Dimana ada kekecewaan, disitu ada harapan. Akankah aku bertahan? Berapa lama harus aku bertahan? Berapa lama harus aku percaya? Tujuh kali tujuh ratus tujuh puluh tujuh? Sampai jelas. Sampai mati dan hidup lagi. Sampai nyata.

Suka Duka Anak Kos

Anak kos. Pasti banyak diatara kamu yang ngekos di kota atau negeri lain. Entah untuk SMA, atau perguruan tinggi. Hari ini, aku mau membahas suka-dukaku jadi mahasiswi di negeri lain, dalam hal tinggal sebagai anak kos. Untuk memulainya, kuceritakan terlebih dahulu gambaran tentang kos-kosan ku. Aku tinggal di sebuah apartemen di daerah Novena. Sekitar 8-10 menit berjalan kaki dari stasiun MRT. Disini, aku menyewa sebuah kamar untuk kutinggali sendiri. Tidak ada tuan rumah, hanya ada teman-teman serumah. Tapi sekitar tiga hari sekali, akan ada pembantu yang membersihkan rumah dan mengurus cucian baju. Nah, teman-teman serumahku ini ada yang berasal dari sesama Indonesia, ada juga yang dari Filipina. Karena akomodasi di Singapura lumayan mahal, apalagi daerah Novena, jadi aku menyewa kamar yang tidak ada WC-nya. Alias berbagi WC dengan teman serumah. Nah, mari kita mulai. Lagi asyik-asyiknya ngerjain tugas, tiba-tiba mesin cucinya berbunyi. Menandakan bahwa cucian telah selesai d...