Skip to main content

Day 19: My Long-forgotten Hobby

Your long-forgotten hobby.

Image by master1305 on Freepik

Salah satu hobi yang pernah aku latih dengan tekun adalah menari. Waktu masih muda dulu (uhuk), pernah mengikuti kompetisi di DBL Indonesia, dan lolos di babak pertama, kemudian kita berangkat ke Surakarta bersama dengan tim pemain basket untuk melanjutkan kompetisi. Kalau aku kilas balik, ternyata itu sudah 10-11 tahun yang lalu.

Lagi-lagi aku nggak punya dokumentasinya. Aku cukup tertutup saat sekolah. Nggak biasa foto-foto juga (jangan tanya kalo sekarang gimana). Atau mungkin ada fotonya tapi aku lagi nggak ada akses ke harddisk lamaku saat ini.

Awalnya mulai tertarik nge-dance karena diajak teman. Nggak, bukan karena Ayo Dance. Aku nggak pernah terpikir aku punya bakat untuk menari, sampai suatu ketika sebelum lulus SMP, ada teman yang mengajakku untuk ikut tampil menari di acara perpisahan SMP.

Kemudian di SMA, aku memohon orang tua untuk ikut ekskul menari. Orang tua yang awalnya nggak expect apa-apa, kaget juga saat aku beri tahu bahwa aku lolos seleksi menjadi salah satu dancer yang mewakili sekolah untuk kompetisi di DBL.

Karena untuk kepentingan sekolah, aku dan anak-anak dari kelas lain yang lolos seleksi diizinkan untuk pergi latihan selama jam sekolah berlangsung. Enak banget aku nggak harus belajar, aku kangen masa-masa itu (hehe).

Hari demi hari berlalu, minggu demi minggu berlalu, semakin intense juga latihan kita. Aku ingat sekali ternyata membawa satu botol di berisi air masing-masing di tangan kanan dan kiri sambil meluruskan tangan ke samping selama dua menit itu menyiksa bukan main. Tapi dengan segala latihan itu, justru menari menjadi lebih mudah dan terlihat jauh lebih powerful.

Singkat cerita, meskipun tim dance kita gugur di Surakarta, aku mendapat pengalaman yang berharga. Memang saat itu orang tua kurang merestui, tapi aku bersyukur mereka tetap mengizinkan. Jadi setelah dari kompetisi, aku mengundurkan diri dari ekskul menari untuk menepati janji dengan orang tuaku. No, I don’t blame them. Aku paham kekhawatiran mereka, jadi akhirnya aku fokus melatih fisik di luar sekolah setelah itu.

Setelah lewat bertahun-tahun lamanya, akhirnya aku mencoba untuk ikut kelas menari lagi di Jakarta, tahun 2019. Tapi karena aku baru mulai berkarir dan nggak siap secara finansial, akhirnya aku hanya ikutan selama beberapa bulan. Dan sampai sekarang, semangat untuk menari belum terhidupkan kembali. Mungkin suatu saat akan muncul lagi? Entahlah.


*.*.*

Jika kamu mau tahu lebih lanjut tentang 30 Day Writing Challenge yang aku jalani saat ini, kamu bisa klik link ini ya.





Comments

Popular posts from this blog

Day 29: Who and What Adds Meaning

Who and what adds meaning to your life. Agustus, 2023 Tentunya sulit untuk menunjuk hanya satu orang saja. Orang-orang disekitarku selalu menambah meaning dalam hidupku. Sebagian besar datang dan pergi, terkadang kembali, kemudian hilang lagi. Apalagi semakin dewasa dan bertambah usia, sepertinya teman-teman semakin punya kesibukan. Termasuk aku sendiri. Jadi ujung-ujungnya hanya menyapa tipis-tipis di media sosial. Tapi nggak apa-apa, meskipun begitu, aku percaya setiap orang memiliki “fungsi”-nya masing-masing dalam hidupku. Mungkin aku nggak sadar makna kehadirannya pada waktu itu dan baru ngeh setelah beberapa tahun berlalu, atau mungkin saat ini sudah nggak ngobrol, tapi masih terkadang kontakan sedikit-sedikit. Ada banyak faktor yang menentukan peran seseorang dalam hidupku. Jadi, jika ditanya ‘siapa’, tentunya tergantung dari musim hidup yang sedang kujalani. Setiap musim, pemerannya berbeda-beda. Aku hampir selalu belajar sesuatu dari setiap orang yang kutemui, dan sedikit demi...

Terus dan terus.

Kemana hidup ini harus kubawa? Kekecewaan datang dan pergi. Begitu pula kecintaan. Yang mana yang harus kupercaya? Ada keputusan, ada ketakutan. Ada komitmen, ada kebingungan. Dimana ada harapan, disitu ada kekecewaan. Dimana ada tekad, disitu ada godaan. Dimana ada kekecewaan, disitu ada harapan. Akankah aku bertahan? Berapa lama harus aku bertahan? Berapa lama harus aku percaya? Tujuh kali tujuh ratus tujuh puluh tujuh? Sampai jelas. Sampai mati dan hidup lagi. Sampai nyata.

Suka Duka Anak Kos

Anak kos. Pasti banyak diatara kamu yang ngekos di kota atau negeri lain. Entah untuk SMA, atau perguruan tinggi. Hari ini, aku mau membahas suka-dukaku jadi mahasiswi di negeri lain, dalam hal tinggal sebagai anak kos. Untuk memulainya, kuceritakan terlebih dahulu gambaran tentang kos-kosan ku. Aku tinggal di sebuah apartemen di daerah Novena. Sekitar 8-10 menit berjalan kaki dari stasiun MRT. Disini, aku menyewa sebuah kamar untuk kutinggali sendiri. Tidak ada tuan rumah, hanya ada teman-teman serumah. Tapi sekitar tiga hari sekali, akan ada pembantu yang membersihkan rumah dan mengurus cucian baju. Nah, teman-teman serumahku ini ada yang berasal dari sesama Indonesia, ada juga yang dari Filipina. Karena akomodasi di Singapura lumayan mahal, apalagi daerah Novena, jadi aku menyewa kamar yang tidak ada WC-nya. Alias berbagi WC dengan teman serumah. Nah, mari kita mulai. Lagi asyik-asyiknya ngerjain tugas, tiba-tiba mesin cucinya berbunyi. Menandakan bahwa cucian telah selesai d...