Write about your childhood ambition.
Image by Vecstock on Freepik |
Sejujurnya, aku tidak ingat mimpi apa yang kutulis di katalog kelulusan SD. Tapi ada satu mimpi yang pernah muncul di benakku saat SMA. Aku pernah ingin menjadi seorang pianis.
Aku mulai belajar musik sejak SD, saat itu, aku memainkan organ. Aku mempelajari adanya konsep kunci-kunci dasar yang dapat kuhapalkan. Tapi dengan belajar dari kecil, bukan berarti aku menjadi seorang prodigy. Udah nggak pandai, masih malas pula kalo disuruh latihan.
Kemudian beranjak SMA, aku mulai les piano dan memainkan beberapa lagu yang lebih sulit dari pada yang kumainkan saat SD. Aku juga melalui tes ABRSM (Associated Board of the Royal Schools of Music) grade 3 saat itu. Masih belum terlalu jauh, tapi melalui tes ABRSM memberiku sedikit trauma dengan musik.
Aku lulus ujian dengan nilai merit, yaitu nilai dibawah distinction. Tapi untuk meraih nilai itu aku harus mengorbankan banyak hal. Banyak waktu yang terpakai karena aku over-worry, latihan berulang-ulang, hingga izin untuk tidak ikut tes mid-semester di sekolah. And the worst of it all, I was still not happy with what I got: merit. Karena untuk dapat nilai itu aja aku udah ngos-ngosan.
Peristiwa kedua, adalah ketika aku diminta untuk tampil di sebuah acara musik di salah satu hotel di Semarang. Aku menjadi salah satu peserta yang tampil di acara itu. Aku melalui banyak latihan lagu “Fur Elise” yang kecepatannya-pun harus sesuai dengan ketukan nada di metronome. Salah-salah, aku harus mengulang bagian yang sama untuk meyakinkan bahwa aku nggak main terlalu cepat, atau terlalu lambat. Harus pas.
Setelah masa latihan yang cukup ketat berlalu, akhirnya hari untuk tampil telah tiba. Aku maju ke panggung dan melantunkan “Fur Elise” dengan mengandalkan ingatan di kepala. Aku sangat gugup, but I did it till the end nevertheless. Kemudian ditutup dengan muka pucatku karena ada nada-nada yang salah telah kumainkan di bagian akhir. Aku buru-buru berdiri dan membungkukkan badan pada penonton (pendengar?) sebagai penghormatan karena telah mendengarkan nada-nada salah yang kumainkan sebelum turun dari panggung.
Sekali lagi, aku merasa ngos-ngosan juga untuk latihan demi penampilan hari itu, dan ternyata masih salah-salah juga penampilanku. Nggak sempurna.
Mimpiku untuk menjadi pianis perlahan terkubur. Sebagian karena aku telah menyadari bahwa aku tidak memiliki kapasitas untuk meraih mimpi itu (secara skill, aku sudah tertinggal jauh dibanding anak-anak seumuranku yang sudah menggeluti piano sejak dini), dan sebagian lainnya karena aku tahu untuk mengejar ketertinggalan itu aku membutuhkan banyak sekali resources yang mendukung (baik secara finansial maupun waktu). Akhirnya, aku memutuskan untuk melupakan mimpi itu.
Mungkin bukan mimpi masa kecil banget, karena mimpi ini ada saat aku sudah bisa lebih mikir untuk jangka panjang. Sepertinya dari kecil aku nggak pernah punya satu mimpi yang sama. Jadi aku nggak terlalu sedih juga ketika menyadari mimpi menjadi pianis harus pupus.
But it’s okay. Kita sebagai manusia pasti mengalami perubahan. Baik dari cara pikir, kesukaan, maupun mimpi. Menurutku, yang terpenting adalah apakah kita tahu batas untuk memperjuangkan sesuatu itu. Konyol namanya jika seseorang terus menerus mengejar sesuatu yang dicintai tanpa memahami kapasitas dirinya sendiri. Ingat, passion nggak bisa dimakan. Beri batas waktu kalo ingin go all-in dalam suatu hal. Nggak mau kan, seumur hidup hanya mengejar satu hal tertentu yang nggak pasti?
Jadi, apa mimpiku saat ini? Yang sekiranya sesuai dengan kapasitasku saat ini? Sejujurnya, aku belum tahu. Aku berharap suatu hari nanti, aku menyadari satu atau dua hal yang ingin aku raih. Dan aku berharap, ketika hari itu tiba, aku sudah punya resources yang cukup untuk meraihnya.
Wow, sudah selesai tantangan menulis selama 30 hari. Terima kasih untuk kamu yang sudah meluangkan waktu untuk membuka blog ini dan membaca tulisanku.
Aku mohon pamit dulu. Semoga dalam waktu dekat aku bisa mulai posting-posting lagi di blog ini. Ikuti terus, ya. Ada banyak yang pengen aku tumpahkan dalam tulisan. Harapannya setelah latihan nulis 30 hari, aku sudah nggak terlalu terintimidasi dengan perfeksionismeku.
Sampai ketemu di postingan berikutnya. Semoga kamu sehat selalu~
*membungkukkan badan*
*menutup keyboard*
Comments
Post a Comment